ep·i·gram·ma [n]
1. Any witty, ingenious, or pointed saying tersely expressed.
2. A brief, interesting, memorable, and sometimes surprising or satirical statement.


Stones
Siang itu saya tergelitik mendengar obrolan di televisi mengenai domestic violence. Obrolan tersebut membawa saya menyusuri beberapa waktu silam.

Apa sih domestic violence?

do·mes·tic vi·o·lence
noun
  1. violent or aggressive behavior within the home

Saya pernah mengalami domestic violence. Verbally dan physically. Kenangan tersebut masih menyisakan rasa pahit jika saya ingat-ingat kembali, tapi juga lucu mengenang beberapa respon kekanak-kanakkan yang saya berikan, mengingat kejadian tersebut berlangsung ketika saya masih dalam usia ehm... labil.

Penyebabnya ga usah lah ya dijabarkan disini.

Sebagai seorang anak berumur 15 tahun, saat-saat di rumah adalah saat paling crappy. Rasanya ingin kabur, Entah kemanapun. Yang penting saya merasakan kedamaian, Kala itu saya benar-benar menikmati waktu diam, dimana saya ga perlu mendengar kata-kata dan perlakuan kasar. Tetapi, saya ga mungkin 24 jam kabur dari rumah kan (good girl... good girl...). Sesampainya di rumah, melihat pemandangan seperti itu saya langsung masuk dan mengunci kamar.

Sebagai anak pertama dari 2 adik yang saat itu masih kecil-kecil, satu yang saya pikirkan. Saya ga ingin adik-adik saya kenapa-kenapa. Setiap api mulai tersulut, saya menarik adik-adik saya ke kamar. Entah saya dongengi mereka, entah saya ajak mereka bernyanyi atau membaca komik. Saya ingin make sure bahwa adik-adik saya merasa aman.

Lalu, kemanakah saya melampiaskan emosi dan perasaan saya? Saya bersyukur Tuhan baik sekali sama saya. Saya memiliki sahabat-sahabat yang selalu ada untuk saya, baik saat senang maupun saya sedang terpuruk. Namun, there was a time dimana saya marah, dan bertanya pada Tuhan, "kenapa ini terjadi ke kami?". Ini part lucunya, sebagai remaja tanggung, saya pun sempat melampiaskannya dengan cara self abusing (soooooo emo). Menyilet-nyilet pergelangan tangan adalah hal yang biasa bagi saya. Karena menurut saya waktu itu, dengan melukai diri saya, saya akan bisa melupakan rasa sakit yang saya rasakan. Pemikiran yang sangat bodoh sekali.

Kejadian tersebut terjadi menjelang ujian nasional (SMP & SMA). Bayangkan, mestinya kamu belajar dengan suasana yang aman dan kondusif, tapi kamu malah berada kondisi di bawah tekanan serta rasa tanggung jawab terhadap adik-adik saya. Saya pun bertekad, untuk membuktikan bahwa saya harus dapat nilai bagus dan menunjukkan bahwa saya bisa coping with the problems.

Hal tersebut turut membentuk behavior saya, yang kemudian masih saya rasakan hingga sekarang. Saya tumbuh menjadi seseorang yang (sok) kuat, tapi fragile di dalam. Tumbuh bersama kekosongan dan beberapa trauma masa kecil, membuat saya menjadi sosok yang cengeng, sensitif dan sama sekali ga bisa menghadapi kekerasan. Contoh, ketika mendengar orang berteriak, sontak saya seakan terhisap ke masa itu. Rasa trauma pun membuat saya menjadi pribadi yang sulit sekali untuk percaya pada orang lain. Hal tersebut dikarenakan adanya ketakutan jika saya akan menghadapi permasalahan yang saya alami. Hal itu pulalah yang membuat saya sempat berpikir dan (hampir) bertindak di luar akal sehat saya.

Namun, saya percaya sekali lagi, Tuhan itu Maha Baik. Dia ga akan memberikan ujian yang umatNya ga akan sanggup untuk handle. Pelan-pelan melalui berbagai kejadian yang terjadi di hidup saya, membuka mata saya dan juga keluarga saya lebar-lebar. Mungkin Tuhan memberi keluarga kami cobaan seperti itu ya untuk kebaikan kami sendiri. Untuk mendewasakan kami. Untuk lebih saling merangkul satu sama lain di kemudian hari.

Untuk lebih menghargai hidup.
0 comment(s)
Post a comment


---------------- Older Posts -----------------