ep·i·gram·ma [n]
1. Any witty, ingenious, or pointed saying tersely expressed.
2. A brief, interesting, memorable, and sometimes surprising or satirical statement.


Kosan oh Kosan
Cari kosan itu sama kayak nyari pacar. Susah susah gampang. Mesti nyari yang bisa bikin nyaman, aman dan pas di hati.



Kalimat itu yang dilontarkan sama salah satu sahabat saya ketika kita sedang hectic-hecticnya mencari kosan. Hmmm... Ada benernya juga sih, sama-sama mesti selektif dan ga boleh sembarangan asal main tempatin aja.

Mari tarik nafas sebentar.

Nah, masalah inilah yang selalu melanda anak kosan seperti saya dan teman-teman, terutama jika sudah memasuki tahun ajaran baru. Maklum, jaman sekarang susah banget dapat kosan yang langsung sreg di hati. Kalo ada yang nyaman, harganya rata-rata 8 juta/tahun atau bahkan lebih. Ada sih yang murah, tapi kondisinya agak cukup mengenaskan. Yah... teori "the higher you pay, the more you get" berlaku di sini.

Seperti yang sudah saya bilang di atas, masalah inilah yang cukup mengganggu saya selama kuliah di sini. Maklum, konsekuensi jadi perantau yang kampung halamannya jauh, jadi barang-barang yang saya bawa pun tidak sedikit. Selama dua setengah tahun berkuliah, setiap tahun pun saya merasakan menjadi seorang imigran. Kayaknya begitu begituuuu aja yang saya lakukan tiap menjelang tahun ajaran baru. Muter-muter nyari kosan, lalu packing, lalu pindahan, lalu unpacking, lalu kembali lagi ke siklus awal.

Sedikit flashback, tahun pertama saya di Jatinangor, saya ngekos di sebuah kosan yang cukup asri dan dingin. Kosan tersebut bernama Puri Andhinni. Sebenernya, saya bisa ngekos di situ karena diantar oleh tukang ojek yang merangkap sebagai calo kosan. Alibi-alibinya sih dia tau kosan yang bagus, maklum saya dan ayah saya ketika itu belum pernah menginjakkan kaki di Jatinangor, jadinya ya hooh-hooh saja. Pertama ngeliat kosan tersebut, yang ada di pikiran saya adalah, "wah keren juga ini kosan, murah dan bagus." FYI, Puri Andhinni fasilitasnya sangat lengkap, internet, shower, air panas, wc duduk, kantin, ruang belajar, dan harganya saat itu 4,5 juta/tahun. Setelah berunding, saya dan ayah pun setuju.

Sebulan. Dua bulan. Kemudian.

Banyak senior dan bahkan warga yang bilang bahwa daerah kosan saya termasuk horor. Memang sih akses ke kampusnya deket, secara dari kosan tinggal menyeberang sebuah jembatan. Nah yang bikin serem, jembatan itu sangat tinggi, di sebelah kiri bawahnya ada kuburan, tanpa lampu, sering dijadikan spot mabuk dan sering dijadikan tempat bunuh diri. Oh iya, jembatan itu dulunya adalah sebuah rel kereta saat jaman Belanda. Hiiiyyy... Mendengar cerita-cerita mereka saya pun mulai takut, apalagi jaman semester 1 dan 2 dulu saya sering ikut kegiatan di kampus yang membuat saya pulang agak malam. Karena takut, saya pun sering menginap di kosan teman saya yang lain. Pernah waktu itu saya nekat pulang sendirian ke kosan jam 6 sore. Sedang asik berjalan, tiba-tiba saya kaget karena ada "sesuatu" yang mengenai bahu saya. Saya pun memberanikan diri menoleh ke belakang. Dan, you know whaaatt, ternyata saya diikuti segerombolan pemuda bengal yang sepertinya sedang mabuk dan tersenyum-senyum nakal. Oh God, oh man, saya pun langsung pasang langkah seribu sambil mulut komat-kamit baca segala macam doa. Yang paling bikin saya takut adalah ketika misalnya mereka membawa senjata tajam atau ketika misalnya mereka nekat mendorong saya, karena mereka rame-rame dan saya sendiri. "Ayo dong cepet sampe, cepet sampe." Hati saya menjerit-jerit seperti itu. Thanks God, akhirnya saya selamat sampai ke ujung jembatan. Mereka pun memutar balik ke tengah jalan sambil sempoyongan. Dari situ saya bertekad tidak akan lewat jembatan itu ketika hari sudah mulai gelap dan ketika saya sedang sendirian.

Tiga bulan. Empat bulan. Lima bulan. Dan seterusnya.

Saya makin akrab dengan teman-teman kosan saya. Meskipun tidak semua cewe, karena kosan saya itu merupakan kosan campur, kita sangat akrab sekali. Bahkan lebih akrab dari kosan yang semuanya cewe. Tiap malam kita suka nongkrong di meja tengah kosan sambil main monopoli atau kartu atau sambil gitaran atau curhat bareng. Jika weekend, kita suka hanging out ke Bandung, untuk sekedar nongkrong, makan atau karaokean. Cuma yang bikin saya sedih, karena kebanyakan mereka berasal dari Jakarta, saya suka kesepian kalau mereka pada balik ke rumah masing-masing saat liburan.

Saya memiliki teman dekat di Puri Andhinni. Mereka adalah Tika, Jesi, Cika dan Dara. Saking seringnya kita bareng, kita pun menyebut diri kita Mawar Andhinni. Kenapa harus mawar? Karena logo kosan kita ada gambar mawar gede di bawah tulisan Puri Andhinni, bangunannya pun berwarna pink. Padahal kosan campur. Agak dangdut sih kesannya tapi tak apalah.

Tinggal di Puri Andhinni bagaikan di rumah sendiri kalo aja penjaganya tidak rese. Hal itulah yang membuat saya dan teman-teman, khususnya si Mawar Andhinni ingin pindah dari kosan tersebut. Selain itu, akses kendaraan umum yang susah dan minimnya tempat makan makin memperkuat keinginan kami untuk pindah. Ya walaupun terkadang anak cowo suka mengantar untuk beli makan atau dititipi makan secara sukarela, tapi kan ga bisa bergantung terus-terusan sama mereka. Akhirnya pada bulan Agustus, kami pun berbondong-bondong pindah dari Puri Andhinni tercinta.

Setelah pindah dari Puri Andhinni.

Saya pun menempati sebuah kosan bernama Pondok Callista. Awalnya saya tidak berniat pindah ke kosan ini, karena harganya yang cukup menguras kantong. Selain itu teman saya yang ngekos di situ sudah mewanti-wanti saya. Apalagi kalo bukan urusan penjaga. Namun, karena saat itu saya mencari kosan dengan mendadak, hampir sebagian besar kosan yang layak huni sudah penuh semua. Padahal saya sudah mengubek-ubek seluruh Jatinangor untuk mendapatkan kosan yang setidaknya nyaman untuk dihuni, namun hasilnya nol besar. Akhirnya dengan terpaksa saya pun pindah ke Pondok Callista.

Banyak yang bilang kosan ini adalah kosan yang cukup lux. Mungkin karena bangunannya yang simple, minimalis dan masih baru. Tapi kalo fasilitas sih yaa setali tiga uang dengan Puri Andhinni. Yang paling bikin saya betah tinggal di sini adalah internetnya yang super duper ngebut. Ketika itu saya mendownload album entah siapa saya lupa yang filenya saja sebesar 120an MB, selesai dalam waktu kurang dari 15 menit. Super! Ada yang enak, pasti ada juga yang bikin ga enak. Ga enaknya adalah, apalagi kalo bukan masalah penjaga. Baru-baru ini saya punya masalah dengan si penjaga hanya karena masalah kunci. Simple, tapi dibesar-besarkan. Selain itu, anak-anak yang tinggal di kosan ini sangat individual sekali. Padahal kamarnya hanya berjumlah 16. Saya di kosan pun hanya dekat dengan Nadya, secara dia teman sekelas saya, Kak Pipit, Lulu dan Amoy. Dan, fixed! Saya pun akan berpindah dari kosan ini, karena tahun ini kosan saya juga harganya naik menjadi 9,5 juta/tahun, selain karena faktor-faktor yang saya sebutkan di atas.

Untuk kedua kalinya, saya pun mengubek-ubek Jatinangor demi mendapatkan sebuah kosan yang nyaman dan layak huni. Saingan saya bukan hanya dari mahasiswa, tetapi juga dari calon maba yang sudah berlomba-lomba mendapatkan kosan. Dan akhirnya jerih payah saya pun tidak terbayar sia-sia. Bulan Agustus ini saya akan pindah ke Pondok Tiara, yang letaknya tidak jauh dari kosan saya yang sekarang. Doakan saja Pondok Tiara bisa menjadi pelabuhan saya untuk 2 tahun ke depan, jadi tahun ajaran baru nanti saya tidak capek-capek lagi mengubek Jatinangor.

Again, pintar-pintarlah mencari kosan (terutama untuk maba). Jangan tertipu dengan penampilan dan bangunannya. Perhatikan juga lingkungan dan reputasinya. Sama halnya dengan mencari pacar, don't judge a book only by its cover. Karena semua yang baik dan bagus di depan, belum tentu baik dan bagus juga di belakang.

Salam anak kos! :)

Libellés : ,

0 comment(s)
Post a comment


---------------- Older Posts -----------------